audyy

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
just ordinary girl but into to change super girl

Ramadhan yang lebih ramah, justru karena kita adalah mayoritas

on 23.8.11
Rasa-rasaya, hampir seumur hidup saya selalu menjadi bagian dari mayoritas. Dan saya ngga pernah sadar betapa banyak privilege yang didapatkan seorang warga yang merupakan bagian dari mayoritas.
Titik baliknya adalah ketika saya menjadi minoritas untuk pertama kalinya, di Singapore. Dan ketika itulah saya baru sadar betapa dimanjakannya kita, umat Islam, di negara Indonesia. Kita difasilitasi dan dihormati sedemikian rupa, dijaga agar jangan sampai tergesek sendi toleransinya, dan ditenggangrasai agar bebas melakukan banyak hal yang membawa nama agama. 

Di Singapore, semua makanan bisa dianggap ngga halal, kecuali yang ada label halalnya. Susah dong cari makanan halal? Memang! Cari resto yang ada logo halal resmi juga ngga banyak. Ada juga resto yang ngga jual daging babi. Terus apa daging lainnya langsung halal? Belum tentu juga. Ada juga resto yang memberi tanda, makanan ini mengandung babi, makanan ini ngga. Terus apa masaknya dipisah-pisahin? Ngga juga.

Coba bandingkan dengan di Indonesia. Betapa gampangnya kita mau wisata kuliner di mana-mana! Kita cuek bebek saja makan bakso di pinggir jalan yang ngga ada logo halalnya. Kita tau itu bakso halal dari mana? Ya ngga tau. Percaya saja sama abangnya dan kita bisa dengan bebas berasumsi daging bakso itu adalah daging halal. 
Coba saja kalau di Indonesia. Saya dulu ingat ada acara masak yang diprotes besar-besaran karena menayangkan acara memasak yang salah satu bahannya adalah daging babi. Meskipun saya agak heran, ya kalau memang ngga mau makan daging babi, apa salahnya ada orang lain yang ngajarin cara masak yang kebetulan ada daging babinya? Ya kalau ga mau, ya tinggal daging babinya diganti telor ayam. Atau kalau masih ga mau, ya matiin aja tvnya. Nyalain laptop dan main facebook. Jangan-jangan nanti kalau di internet ada blog yang ngajari cara bikin caesar salad pake bacon juga diprotes. 

Menurut pemikiran saya yang pendek dan dangkal ini, Islam melarang kita makan daging babi, tapi pasti ada alasan kenapa Tuhan tetap menciptakan ada babi di muka bumi ini. Kenapa kita ngga protes sama Tuhan? "Tuhan, kalo diharamin, kenapa babi masih ada?" Ya karena Tuhan menciptakan kita pake akal. Supaya kita bisa memilih mana yang mau dikonsumsi. 

Itu baru satu contoh. Contoh lain, fasilitas shalat. Di Indonesia, kemana saja kaki melangkah pasti ada masjid. tapi berbeda dengan tempat saya tinggal di singapore sekarang ini, apalagi waktu berkunjung ke kantor tante saya. Di kantor tante saya di Singapore, kalau saya mau shalat, waktu itu saya musti pinjem kunci ke sebuah ruangan yang seharusnya digunakan untuk ibu2 yang menyusui anaknya. Shalat di sana. Marah? Kesel? Ngga juga. Yang penting saya masih dapat ruangan bersih dan layak untuk shalat. Kalau masih ngomel ya bikin aja kantor sendiri. Atau jangan ngantor/tinggal di Singapore, yang sudah jelas-jelas kebutuhan shalat adalah kebutuhan minoritas. 

Contoh lain, adzan di Singapore. Ketika hari udah hampir gelap, saya terus-terusan memandangi jam tangan saya karena itu adalah satu-satunya petunjuk bahwa maghrib telah tiba. Ngga ada adzan yang berkumandang. Sebel? Ngga juga. Yang penting ngga ada yang melarang-larang saya untuk puasa. 

***

Sempat merasakan jadi minoritas membuat saya jadi lebih bisa mengapresiasi segala fasilitas yang ada di Indonesia. Di Indo, saya ngga pernah khawatir, kalau ada acara makan-makan. Di sebuah acara makan siang selamat datang untuk sekitar 100 mahasiswa dari berbagai negara, yang muslim cuma ada beberapa orang gitu (termasuk saya), tapi penyelenggaranya menyediakan makanan dari catering halal. Makanan halal yang biasanya saya take for granted, sekarang tiba-tiba jadi hal mewah. 

Dan hal lain yang membuat saya jadi lebih bersyukur adalah karena ternyata ada yang makanannya lebih ribet daripada saya. Banyak dari teman saya adalah orang India yang vegetarian. Ngga makan segala macam daging, termasuk ikan dan telur. Trus makan apa? Ya sayur dan nasi dan roti lah. Awas, roti-roti dan kue-kue ada yang mengandung telur. Mereka ngga bisa makan itu. 
Ada lagi yang lebih strict. Orang India yang agamanya Jain. Selain vegetarian, mereka juga ngga makan tumbuhan yang tumbuh di bawah tanah. Jadi, makanannya bener-bener cuma sayur ngga pake wortel ngga pake kentang ngga pake bawang putih/bawang merah ngga pake ubi ngga pake ketela dan ngga pake kacang. Dan banyak lagi tumbuhan lain yang tumbuh di dalam tanah. Saya juga bingung mereka makannya apa.

Mereka marah? Ngga juga. Ya konsekuensi mereka hidup di tempat yang mana mereka adalah minoritas. Kalau mereka mau ya mereka bisa hidup di India dan dengan tenang dan damai makan semua makanan vegetarian di sana. Tapi mereka memilih hidup di tempat lain. Mereka memilih konsekuensi menjadi minoritas dan paham risikonya. 

Sejak kenal sama mereka, saya jadi malu hati untuk komplain susah nyari makanan halal di Singapore. Banyak yang lebih susah.

***

Intinya, saya masih sering bingung kalau ada orang yang meminta orang menghormati Ramadhan. Kurang dihormati gimana lagi coba kita? Semua televisi tiba-tiba menayangkan acara yang berbau rohani. Warung-warung makan ngga boleh buka di siang hari. Resto-resto menutupi jendelanya dengan kain agar tidak 'mengganggu' orang yang sedang puasa yang kebetulan lewat. Masjid-masjid menyetel rekaman pengajian dan lagu-lagu padang pasir dengan volume maksimum untuk menyemarakkan Ramadhan. 

Tapi apa perlu?

Apakah iman kita selembek itu sehingga cuma ngeliat orang makan kita jadi ikutan makan? Payah sekali kita kalau begitu. Terus apakah anak kecil dan orang sakit juga jadi ngga boleh makan? Demi menghormati kita yang sedang puasa? Apakah kita yang sedang puasa justru ngga mau belajar menghormati orang yang ngga puasa?

Saya juga pengen ada Ramadhan yang lebih tenang. Ngga penuh hingar-bingar yang membuat ibu-ibu di sebelah rumah yang punya adek bayi bingung setengah mati karena bayinya ngga bisa tidur karena kaget-kaget terus mendengar suara dari speaker masjid yang meraung-raung. 

Apa kita semua perlu merasakan jadi minoritas dulu untuk sadar bahwa kita sudah sangat dimanjakan dan dihormati dan ditoleransi? Rasanya ngga.

Karena justru kita yang mayoritas yang harus belajar menghormati hak-hak yang lain dan memberikan ruang lebih luas pada yang minoritas. Justru karena kita yang mayoritas. Justru

Ramadhan 2011